Maidatur Rahman : Yang Paling di Nantikan Masisir Saat Ramadhan di Mesir

Maidatur Rahman :
Yang Paling di Nantikan Masisir Saat Ramadhan di Mesir

Ali Al Mu'tashim Billah Al Ayyubi LC
(Direktur Utama Helwa Center Mesir)

Ketika bulan Ramadhan tiba, masjid-masjid di berbagai belahan dunia Islam berubah menjadi pusat-pusat kebersamaan. Di antara berbagai tradisi yang berkembang, salah satu yang paling mencerminkan semangat kepedulian dan persaudaraan adalah Mā'idat ar-Raḥmān—hidangan kasih sayang yang dihidangkan secara gratis bagi siapa saja yang ingin berbuka puasa. Namun, tahukah kita bahwa tradisi ini memiliki akar sejarah yang panjang, melibatkan para khalifah, sultan, dan masyarakat Muslim sejak berabad-abad lalu?

Tradisi menyajikan makanan bagi fakir miskin saat Ramadhan bukanlah fenomena baru. Sejak masa Rasulullah ﷺ, anjuran memberi makan kepada orang yang berpuasa telah ditekankan sebagai salah satu amal kebaikan terbesar. Dalam hadis riwayat Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

"Barang siapa yang memberi makan orang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun." (HR. Tirmidzi)

Sejarah mencatat bahwa awal mula konsep Mā'idat ar-Raḥmān bermula sejak zaman Rasulullah ﷺ, ketika delegasi dari Thaif datang ke Madinah untuk menyatakan keislaman mereka. Mereka menetap di Madinah dalam beberapa waktu, dan Rasulullah ﷺ mengirimkan makanan untuk berbuka dan sahur kepada mereka melalui Bilal bin Rabah.

Setelah itu, para khalifah meneruskan tradisi ini. Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu mendirikan rumah perjamuan bagi mereka yang berpuasa, sehingga berkembanglah gagasan tentang Mā'idat ar-Raḥmān.

Tradisi Mā'idat ar-Raḥmān di Mesir memiliki sejarah panjang. Muncul pertama kali pada masa Khalifah Ahmad bin Ṭūlūn pada tahun 880 M. Beliau mengumumkan bahwa hidangan tersebut akan tersedia sepanjang bulan Ramadhan, terutama dalam tiga tahun pertama kepemimpinannya. Pada tahun keempat, ia mengadakan jamuan besar yang mengundang para bangsawan, pedagang, serta fakir miskin. Ia bahkan memerintahkan agar kaum kaya membuka rumah mereka untuk berbagi makanan kepada kaum miskin dan memastikan bahwa tradisi ini berjalan sepanjang bulan suci.

Tradisi ini semakin berkembang pada era Fatimiyah, dikenal sebagai Dār al-Fiṭrah. Dari istana Khalifah al-Mu'izz li-Dinillah, sebanyak 1100 piring besar berisi makanan mewah didistribusikan kepada masyarakat miskin. Pada masa itu, meja jamuan ini bahkan membentang sepanjang 500 meter. Sayangnya, tradisi ini mulai berkurang selama era Mamluk dan Utsmani akibat peperangan. Namun, pada masa penjajahan Inggris dan Prancis, lembaga amal mulai menghidupkan kembali Mā'idat ar-Raḥmān sebagai bentuk kepedulian sosial.

Di era modern, Raja Faruq turut berperan dalam menghidupkan kembali Mā'idat ar-Raḥmān. Ia mengadakan jamuan berbuka di halaman Istana Abdin yang terbuka untuk masyarakat umum. Selain itu, ia menginstruksikan para gubernur untuk mengadakan jamuan di berbagai daerah Mesir, termasuk di kawasan Imbaba, Giza, Hawamdeya, Badrashin, dan Al-‘Ayyat. Sebelum azan Maghrib berkumandang, pembacaan Al-Qur'an dilakukan di lokasi-lokasi ini, diikuti dengan hidangan mewah yang dikenal sebagai "jamuan kerajaan".

Pada awal abad ke-20, tradisi ini sempat meredup, namun kembali menguat pada tahun 1967 ketika Bank Nasser Sosialmengadakan Mā'idat ar-Raḥmān di dekat Masjid Al-Azhar, melayani sekitar 4000 orang yang berpuasa menggunakan dana zakat. Sejak saat itu, lembaga-lembaga amal mulai mengambil peran besar dalam menyelenggarakan Mā'idat ar-Raḥmān di berbagai penjuru Mesir.

Saat ini, Mā'idat ar-Raḥmān telah menjadi fenomena sosial yang berkembang luas. Selain inisiatif individu dan organisasi amal, militer Mesir juga berperan aktif dalam menyediakan hidangan berbuka puasa di berbagai daerah. Di kota-kota besar seperti Kairo dan Alexandria, jumlah Mā'idat ar-Raḥmān mencapai lebih dari 40.000 titik, dengan lebih dari 3 juta warga Mesir mendapat manfaat setiap tahunnya. Menurut studi dari Universitas Al-Azhar, lebih dari 1 miliar pound Mesir dihabiskan untuk mendukung keberlanjutan tradisi ini.

Bentuk kepedulian ini tidak hanya terbatas pada meja makan di jalanan. Di berbagai daerah, panitia penyelenggara juga mengirimkan paket makanan ke rumah-rumah lansia dan mereka yang tidak mampu keluar rumah. Tradisi ini semakin berkembang selama pandemi Covid-19, ketika banyak masyarakat dan relawan mulai membagikan paket makanan ke rumah-rumah secara langsung.

Selain itu, menjelang waktu berbuka, banyak anak muda di jalanan membagikan air, jus, dan kurma kepada para pengendara dan pejalan kaki. Bahkan ada yang membagikan kantong kecil berisi kurma dan rokok kepada para pria yang sedang dalam perjalanan saat azan Maghrib berkumandang.

Sejarah panjang Mā'idat ar-Raḥmān mengajarkan kita bahwa Islam bukan hanya tentang ibadah individual, tetapi juga tentang solidaritas sosial. Ramadhan menjadi momentum bagi kita untuk berbagi, mempererat persaudaraan, dan menghidupkan kembali semangat kepedulian sebagaimana dicontohkan oleh para pemimpin Islam terdahulu.

Sejarah dan Budaya Administrator 27 Feb 2025 06:22pm

  • Komentar : 2
    • Khairy Amin Khairy Amin

      رمضان في مصر حاجة تانية

    • Ahmad Ahmad

      Rindu Suasana Ramadhan Di Mesir

Berikan komentar terbaik Anda

Helwa Center

Lembaga konsultan pendidikan yang memfasilitasi calon pelajar Indonesia di Institusi-institusi Al-Azhar di Mesir sejak tahun 2015.

Find Us

18 Ahmed Zumor, Hay Asyir, Nasr City, Cairo

© 2024 | Binwasoft | All Rights Reserved. Privacy Policy | Terms of Service